“Pecinta sejati tidak akan pernah menyerah sebelum kematian itu sendiri datang menjemput dirinya.” Pria tua itu mengulang kalimatnya. Meluruskan kaki. Membentangkan tangan di sandaran bangku. Bersandar. Menatap santai ribuan capung yang terbang memesona di sekitar mereka. (Hal. 29)
***
Plot Kisah Sang Penandai
Salah satu yang saya suka dari Tere Liye ialah ia tidak pernah membuat novel berlatar cinta picisan. Roman yang remeh. Kisah-kisah manja yang melenakan, mengeluarkan sifat melankolis seseorang. Sebab memang cinta diciptakan untuk membangun. Untuk menguatkan. Untuk meneguhkan setiap jiwa yang menumbuh-mekarkan cinta.
Sebagaimana perjalanan cinta Jim dalam Kisah Sang Penandai.
Namun sayang bagi Jim, ia harus memulai dongeng ini dengan kepedihan. Hidupnya saja sudah cukup merana. Yatim-piatu, papa, tidak mampu membaca dan menulis. Tere Liye semakin lengkap menyifatinya dengan: terlalu lemah untuk berani mengambil keputusan dalam hidup. Yang ia bisa lakukan hanyalah menggesek dawai dan menyenandungkan lagu. Tetapi justru kemampuan itu mengantarnya berkenalan dengan Nayla. Awal dari segala keperihan.
Hubungan Jim dan Nayla berjalan cepat. Secepat mimpi Jim untuk mewujudkan legenda abadi di Ibukota. Legenda kapel tua di atas bukit pada pukul tujuh, tanggal tujuh, dan bulan tujuh.
“Apakah kau juga akan mati untukku?” Nayla bertanya lirih. Jim mengangguk, anggukan yang terlalu berani.
Perbedaan latar belakang keduanya mengawali kepiluan kisah cinta mereka. Nayla adalah gadis putri keluarga bangsawan. Kaya raya dan berpengaruh besar di Anak Benua. Seperti gadis raja umumnya, Nayla telah dijodohkan. Berulang kali Nayla mengirim surat pada Jim. Mendesaknya agar menjemput sang kekasih. Pergi ke mana pun yang ia mau.
Tapi apalah daya bagi seorang Jim. Ia terlalu gentar untuk mengambil tindakan.
Kepedihan Jim
Pagi itu, musibah sampai pada puncaknya. Jim berlari menuju sebuah penginapan. Kemudian merangsek ke lantai dua. Saat itu juga, hati Jim teriris. Nayla yang ia temukan telah terbaring di atas tempat tidur. Wajahnya membeku damai bersama gaun putih yang dikenakannya. Hanya secarik kertas yang ia tinggalkan.
“… Biarkanlah aku pergi, Jim. Ini jauh lebih membahagiakan. Aku tak berharap banyak darimu selain untuk terakhir kalinya kau akan mengatakan, ‘Aku mencintaimu, Sayang’ di telingaku yang pasti sudah membeku pada tanggal tujuh, bulan tujuh, jam tujuh hari ini. Ketika lonceng kapel tua berdentang. Tempat di mana ikrar cinta sejati kita pernah terucapkan…” (Hal. 23)
Siapa sangka, justru karena itulah Sang Penandai memilih Jim untuk mengguratkan dongeng terindah yang pernah ada. Awal melihat judul buku ini, saya tak paham apa itu ‘penandai’. Ternyata penandai juga bermakna pendongeng. Ialah yang menulis, menjaga, dan mewariskan dongeng yang kalian dengar setiap hendak tidur.
Petualangan Jim
Maka mulailah Jim merangkai kisahnya bersama Armada Kota Terapung untuk menemukan Tanah Harapan. Ekspedisi ini dipimpin oleh Laksamana Ramirez dengan kapal Pedang Langit-nya dan 39 kapal lainnya. Bagi Jim, ini bukan sekadar ekspedisi biasa. Namun ekspedisi untuk melupakan masa lalunya. Ekspedisi untuk percaya pada kalimat Sang Penandai, “Pecinta sejati tidak akan pernah menyerah sebelum kematian itu sendiri datang menjemput dirinya.”
Bagi saya sendiri, mungkin di sinilah uniknya perjalanan Jim. Tere Liye lebih memilih perjalanan laut dibandingkan sekadar perjalanan biasa. Apalagi sebuah ekspedisi menemukan daratan baru yang belum terjamah. Banyak konflik yang tentu terjadi. Para bajak laut, kemisteriannya, bertemu dengan warga daratan lain yang berbeda bahasa dan budaya, serta konflik-konflik internal. Tentu tidak mudah mengorganisasi begitu banyak orang di tengah laut yang penuh kejutan.
Selain menghidupkan novel, ternyata konflik-konflik inilah yang perlahan membentuk pribadi Jim.
Nyaris mati dan pertama kali menumpahkan darah saat perompak Yang Zhuyi menyerang Armada Kota Terapung. Tergoda untuk ‘meninggalkan’ Nayla saat bertemu gadis bermata jeli penjaga Puncak Adam. Menyelamatkan Champa dari kehancuran, lalu dijodohkan dengan anak raja. Dan lihatlah! Gadis itu sangat mirip dengan Nayla-nya, bahkan namanya pun sama: Nayla. Sang Kelasi yang Menangis kemudian berubah menjadi kepala pasukan yang berwibawa. Menariknya, Tere Liye juga menghadirkan Pate sebagai tandem bagi Jim. Sosok yang cocok menemani petualangan Jim mencari jati diri.
Berulang kali Jim dihadapkan kondisi putus asa. Memaksanya bertemu dengan ajal. Belum lagi konflik batin, haruskah ia meninggalkan Nayla? Haruskah ia mengkhianatinya?
Tetapi kalimat Sang Penandai terus saja terngiang, “Pecinta sejati tidak akan pernah menyerah sebelum kematian itu sendiri datang menjemput dirinya.”
Sampai kapankah Jim harus percaya pada kalimat itu?
Kepercayaan Kisah Sang Penandai
Tentu selalu ada harga bagi sebuah kepercayaan. Ada balasan indah yang menanti. Hanya saja kita memang harus bersabar melewati seluruh penderitannya. Pahit serta getirnya. Dan Jim mengajari itu semua kepada pembaca. Cinta tidak diciptakan untuk membuatmu lemah. Walau ia telah tiada, kau harus tetap bangkit. Lanjutkan hidupmu! Dongengmu sungguh masih panjang. Bahkan ketika engkau telah menemukan Tanah Harapan. Karena di ujung sana, ada hadiah yang telah lama menunggumu. Hanya saja kamu tidak tahu. Kamu hanya harus percaya.
Judul: Kisah Sang Penandai
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Mahaka Publishing, Jakarta
Tebal: iv+295 halaman; 13.5 x 20.5 cm
Cetakan: VIII, Agustus 2016
Nomor ISBN: 978-602-988-832-4
