Alur Ayat-Ayat Cinta 2
Seusai menikah dengan Aisha, Fahri kini tinggal di daerah Edinburgh, Skotlandia. Atau lebih tepatnya di kawasan Stoneyhill Grove, Musselburgh.
Di kompleks berbentuk letter L ini, Fahri bertetangga dengan orang-orang yang memiliki karakter dan latar belakang berbeda. Ada Nenek Catarina, seorang Yahudi tulen yang rajin pergi ke sinagog. Terdapat pula Brenda, wanita kantoran yang sering pulang larut malam dan suka minum minuman keras. Kemudian ada juga Nyonya Janet yang hidup bersama kedua anaknya, Keira dan Jason. Kedua kakak-beradik tersebut sangat membenci Fahri sebagai seorang Muslim. Keira beberapa kali menaruh tulisan di kaca mobil Fahri seperti “MUSLIM=TERORIST! GO HELL!”. Sedangkan Jason selalu mengucapkan kata-kata kasar setiap kali berpapasan dengan Fahri. “Fuck you!” umpatnya.
Fahri sendiri tinggal bersama Paman Hulusi. Seorang pemabuk yang diselamatkannya dari sekumpulan preman. Dan kini ia menjadi supir pribadi Fahri.
Kesehariannya diisi dengan menjadi dosen Ph.D di The University of Edinburgh. Selain itu, Fahri juga mengelola dua bisnis besar. Yakni resto dan minimarket Agnina serta AFO Boutique yang ia dirikan bersama Aisha dan Ozan (sepupu Aisha).
Tapi kehidupan indah tersebut ternyata masih menyisakan tangis bagi Fahri. Karena hingga kini, Aisha tak berada di sisinya. Ia hilang di Palestina bersama seorang temannya bernama Alicia. Meski Alicia telah ditemukan tewas terbunuh oleh Zionis Israel, namun itu tidak menyurutkan Fahri untuk tetap mencari dan menanti Aisha. Dorongan untuk menikah lagi datang dari segala sisi. Tetapi tidak pernah ia pedulikan.
Tawaran Sulit
Tawaran pertama datang dari Ozan. Ia menawari Fahri agar meminang Hulya, adik Ozan. “Dia tidak hafal Al-Qur’an tapi bagus bacaan Al-Qur’annya. Dia baru lulus B.A dari METU.” (hlm. 62)
Sedangkan tawaran kedua datang dari Syaikh Utsman, guru talaqqi dan qiraah sab’ah Fahri ketika di Mesir. Syaikh meminta Fahri agar menikahi cucu perempuannya bernama Yasmin. Akhlaknya terjaga, hafal Al-Qur’an sejak usia 11 tahun, dan sedang menempuh Ph.D hukum islam di Durham University.
Perlahan, suasana di rumah Fahri bertambah ramai. Sejak ia memutuskan menanggung seluruh beasiswa Misbah di Heriot-Watt University. Teman satu rumahnya di Kairo dulu itu, kini tinggal selangkah lagi meraih gelar Ph.D Ekonomi Islam.
Fahri juga beberapa kali diundang makan dan mendapat kunjungan dari keluarga Tuan Taher. Dosen di Queen Margaret University ini tinggal bersama istri dan seorang putrinya yang bernama Heba.
Penghuni rumah Fahri pun bertambah satu lagi. Foto Sabina, seorang muslimah dengan wajah rusak, tiba-tiba muncul di The Edinburgh Morning dengan tulisan di dada: I’m homeless! Help me! Bagi Fahri ini adalah panggilan dakwah. Sementara legalisasi Sabina diurus, mau tak mau ia menetap di bagian basement rumah Fahri.
Masalah Fahri tak berhenti di situ. Ia ditantang oleh Baruch, anak tiri Nenek Catarina, berbebat mengenai konsep amalek. Fahri juga menerima tawaran debat akbar di The Oxford Union dari Profesor Charlotte. Yakni sebuah forum debat tertua dan paling bergengsi di dunia. Lawan debatnya kali ini tidak main-main. Ada Profesor Mona Bravmann, pakar kajian timur dekat dari Chicago, dan Prof. Alex Horten, pakar sosiologi agama dari King’s College London.
Apakah Fahri berhasil mengatasi masalah-masalah tersebut? Termasuk apakah akhirnya ia memilih menikah lagi atau tetap mempertahankan hatinya pada Aisha? Siapakah yang akan Fahri pilih, Hulya atau Yasmin?
Banyak pertanyaan-pertanyaan besar yang sayang dilewatkan jawabannya dalam buku setebal 690 halaman ini.
***
Analisis Umum Ayat-Ayat Cinta 2
Apa jawaban Anda jika ditanya, “Kenapa orang Muslim suka bom bunuh diri?”
Mungkin sebagian dari kita langsung mengernyitkan dahi. Lalu bertanya dalam hati, “Mengapa orang tersebut bisa berpikir demikian?” Sebab, redaksi kalimatnya jelas menghakimi.
Begitu pula yang dirasakan Fahri Abdullah. Kala ia menggantikan Profesor Charlotte Brewster mengajar kelas Filologi di The University of Edinburgh. Pertanyaan polos dari seorang mahasiswi asal Cina bernama Ju Se tersebut, seolah menggambarkan bahwa ia benar-benar tidak mengenal Islam. Atau ia justru memperoleh penjelasan mengenai Islam dari sumber-sumber yang tidak tepat.
Pertanyaan semacam itu—yang muncul di awal bab—pun seakan menggambarkan topik besar yang ada di dalam novel ini. Dan benar saja. Topik islamopobia cukup besar mewarnai isi novel. Apalagi Fahri tinggal di negara dengan jumlah muslim yang minoritas.
Indahnya Islam
Beberapa kali Kang Abik menunjukkan bahwa begitulah Islam. Ia datang sebagai rahmat bagi seluruh alam. Melalui tindakan-tindakan Fahri, penulis ingin memperlihatkan bahwa kekerasan tidak harus dibalas dengan kekerasan pula. Dan dakwah tidak boleh dengan paksaan. Tetapi harus melalui hikmah, nasihat yang baik, dan argumentasi ilmiah kalaupun harus berdebat.
Misalnya, ketika Fahri memindahkan Brenda yang tak sadarkan diri di tengah jalan akibat mabuk, ke depan rumahnya. Atau mengantar Nenek Catarina ke Sinagog. Bahkan rela merawat beliau dan membeli rumahnya yang sempat ingin dijual oleh Baruch. Fahri juga menanggapi Keira dan Jason dengan santai. Keduanya bahkan dibantu oleh Fahri, meskipun Keira tidak mengeahuinya. Jason diberi beasiswa hingga menjadi seorang pesepakbola profesional. Dan Keira dilatih biola oleh Madam Varenka—orang bayaran Fahri—hingga memenangi kontes dunia.
Paman Hulusi pun sampai bingung mengapa Fahri bisa rela hanya tidur beberapa jam. Di tengah ibadah dan murajaah hafalannya, ia tidak berhenti menunaikan amanahnya di The University of Edinburgh.
“Cara melawan itu semua adalah dengan menunjukkan bahwa kita, umat Islam ini berkualitas. Bahkan harus lebih berkualitas dan lebih profesional dibanding orang-orang asli penduduk sini. Sudah menjadi naluri bahwa penduduk asli mendapatkan prioritas. Itu yang harus kita sadari. Maka kita harus menunjukkan nilai lebih yang tidak dimiliki penduduk asli.” (hlm. 25)
Fahri juga menambahkan, “Saya tidak muluk-muluk. Cukuplah bahwa saya bisa menyampaikan akhlak Islam dan kualitas saya sebagai orang Islam kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan saya, jika saya bisa, itu saya sudah bahagia.” (hlm. 26)
Konsep Amalek
Topik besar lainnya yang mengisi novel ini ialah mengenai konsep amalek milik kaum Yahudi. Melalui konsep inilah, Israel melegalisasi penjajahannya di atas tanah Palestina. Bagi mereka, anak-anak keturunan Israel adalah bangsa pilihan Tuhan. Di antara manusia lalu muncul bangsa-bangsa yang tidak menyukai prinsip ini dan berusaha melenyapkan bangsa Yahudi. Mereka inilah yang disebut dengan kaum amalek. Orang-orang amalek ini wajib ditumpas oleh kaum Yahudi karena dianggap mengancam eksistensi mereka. Termasuk amalek ialah semua orang Arab, orang muslim, dan orang Palestina.
Konsep inilah yang coba dibantah oleh Kang Abik melalui debat antara Fahri dan Baruch. Fahri berhasil menjelaskannya dengan argumen ilmiah dan cukup telak.
Meski materinya cukup padat, namun tema cinta tetap tidak ketinggalan. Sebagaimana penuturan penulisnya sendiri ketika bedah buku Api Tauhid di AQL sekitar tahun lalu. Semua buku beliau memang sengaja dibumbui tema cinta. Ada Ketika Cinta Bertasbih, Cinta Suci Zahrana, Bumi Cinta, dan lain-lain. Ini semata agar novel terasa lebih ringan dan lebih dekat dengan pembaca. Siapa yang tidak suka dengan tema cinta?
Perbedaan 2 Ayat-Ayat Cinta
Secara umum, ada beberapa perbedaan antara Ayat-Ayat Cinta 1 dan 2.
Pertama, jelas bahwa latar temat yang dipilih berbeda. Kalau dahulu bertempat di Mesir, kini lokasinya berpindah ke Skotlandia.
Kedua, jika dahulu tema besar yang diangkat adalah mengenai pernikahan Islam, kini tema besarnya berkutat pada isu-isu di dunia Islam.
Ketiga, sudut pandang pada Ayat-Ayat Cinta 1 memakai sudut pandang pertama. Sedangkan kali ini point of view yang digunakan adalah sudut pandang ketiga yang terpusat di Fahri. Sehingga kita bisa lebih mengeksplorasi isi kepala atau tindakan tokoh lain tanpa Fahri mengetahuinya. Seperti, ketika Sabina menangis di kamarnya atau mimik wajah para penonton ketika menyaksikan debat antara Fahri dan Baruch.
***
Kelebihan dan Kekurangan Ayat-Ayat Cinta 2
Sebagai karya manusia biasa, tentu sebuah novel pun tidak lepas dari cela. Meski begitu, kelebihannya kadang mampu menutupi cela tersebut. Sebagaimana novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini.
Kelebihan Ayat-Ayat Cinta 2
1. Berani
Menghadirkan tema amalek dan berusaha membantahnya bisa dibilang berani untuk sebuah novel. Jika novel ini akan difilmkan juga, saya jadi bertanya apakah tema ini tetap akan diangkat atau tidak. Saya berpikir tema ini bisa jadi sangat kontroversial di dunia internasional. Tapi justru memang itulah poin lebih Ayat-Ayat Cinta 2. Sebagaimana endorsment Melly Goeslaw, “Ayat-Ayat Cinta 2 ini adalah karya sastra racikan Kang Abik yang mengejutkan. Lebih berani dan dinamis. Tapi tetap sarat makna dan pesan.”
2. Kesan Islam Sebagai Rahmat Bagi Semesta Alam
Tokoh Fahri begitu apik menjadi role model bagaimana seharusnya menjadi Muslim yang paripurna, meski di negeri mayoritas non-muslim. Kaya, berwawasan, memiliki bisnis, dermawan, dan pandai menghadirkan akhlak Islam yang begitu agung. Kita seolah menemukan makna Islam rahmatan lil alamin dalam novel ini. Setiap Muslim sepertinya “wajib” merenungi lembar per lembarnya.
3. Pemaparan Latar yang Detail
Deskripsi Kang Abik mengenai Skotlandia beserta jalan-jalannya terasa begitu nyata. Beliau seolah pernah berkunjung ke sana dan meriset lokasi serta budaya masyarakat setempat. Bagi para penulis pemula, tentu hal ini dapat dijadikan pelajaran. Sebab latar bukan hanya tentang semburat senja atau rinai hujan, tetapi juga mengenai detail lokasi. Ketika sebuah novel dapat memadukan riset dan sastra, tentu itu akan menjadi poin yang sangat baik.
Kekurangan Ayat-Ayat Cinta 2
1. Fahri yang Terlalu Sempurna
Hampir sama dengan novel sebelumnya, sosok Fahri di sini seperti sosok yang utopis. Sangat jarang kita menemukan sosok yang begitu bersahaja. Cerdas, kaya, dermawan, berprestasi, dan digilai banyak wanita. Sepertinya hal inilah yang tidak disukai oleh beberapa pembaca.
Tapi saya sedikit memiliki pandangan lain. Saya khawatir, justru umat Islam hari ini memang sedang dilanda penyakit inferior (rendah diri) yang akut. Sehingga ketika melihat sosok Fahri, kita menganggap bahwa sosok tersebut tidak riil. Padahal kalau kita ingin menengok sejarah, sosok Rasulullah Saw. dan para shahabat adalah orang-orang yang bahkan melebihi Fahri. Ada Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf yang kaya namun sangat dermawan. Rasulullah pun menjadi role model bagaimana bersikap terhadap non-muslim. Mereka adalah generasi terbaik umat ini. Masihkah kita menganggap semua itu tidak riil?
Kalau saja kita mau mengamati sedikit lagi, Fahri pun sebenarnya tidak sesempurna yang kita bayangkan. Ia sangat lemah terhadap fitnah wanita. Contohnya jelas pada Ayat-Ayat Cinta 1. Dan di novel ini pun ketika ia tidak ingin melepaskan hatinya dari Aisha merupakan bukti bahwa wanita adalah cobaan terberat bagi Fahri.
2. Klimaks yang Tidak Klimaks
Pada Ayat-Ayat Cinta 1, kita bisa menganalisa bahwa klimaks ceritanya adalah ketika Fahri tersebas dari tuduhan pemerkosaan. Namun di novel ini, bisakah kita menetapkan mana klimaksnya? Apakah ketika Fahri berdebat di The Oxford Union? Agak susah menyimpulkannya. Karena setelah itu pun kita masih menunggu jawaban di mana sosok Aisha kini berada. Kalau ditemukannya Aisha itu adalah klimaks, tetapi debat di Oxford itu dan Keira yang akhirnya mengetahui siapa pemberi beasiswanya juga bisa dibilang klimaks.
Inilah hal yang hilang di Ayat-Ayat Cinta 2. Kang Abik memang tidak menggunakan teknik khusus agar pembaca mau terus membuka bab per bab. Tapi dengan banyaknya pertanyaan tersebut, sudah cukup membuat kita terus membaca novel ini dan berusaha mencari jawabannya. Alurnya begitu meliuk-liuk.
3. Plot Twist yang Bisa Ditebak
Tentu para pembaca menanti-nanti, di manakah Aisha kini? Tetapi entah kenapa Kang Abik beberapa kali memberikan kode. Seperti lekuk tubuh dan timbre suara Sabina yang mirip Aisha. Tangisan Sabina di beberapa scene. Jari Sabina yang tiba-tiba terbakar ketika hendak diperiksa sidik jarinya. Dan beberapa kode lainnya. Benar-benar membuat pembaca menebak, apakah Sabina itu sebetulnya adalah Aisha? Premis inilah yang membuat akhir cerita sedikit bisa ditebak.
4. Terlalu Padat
Ayat-Ayat Cinta 2 bisa dikatakan lebih tebal dua kali lipat dari novel sebelumnya. Kang Abik banyak sekali memasukkan materi keislaman di dalam novel, sehingga isinya tampak padat sekali.
Misal, dialog antara Fahri dan Misbah mengenai hukum menjual minuman keras di negara mayoritas non-muslim. Atau lintasan pikiran Fahri ketika mengetahui bahwa Profesor Charlotte tidak masuk Islam karena kelakukan Muslim sendiri yang tidak mencerminkan akhlak Islam. Di sini lintasan pikiran Fahri panjang sekali.
5. Kesalahan Tulis
Kali ini koreksi bagi editor dan penerbit. Sayang sekali novel sebagus ini masih harus ada keasalahan ketik. Seperti penulisan kalau menjadi kau, Fahri menjadi Fahmi, dan beberapa typo lainnya.
Akhirnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, novel ini tetap layak dikonsumsi bagi setiap Muslim. Sangat bergizi dan membangun jiwa. Mendorong setiap Muslim agar menjadi Muslim yang paripurna. Meneladani kehidupan Rasulullah dan para shahabat. Lalu mempraktikannya dalam kehidupan masyarakat. Sehingga tidak ada lagi sekat antara keagungan Islam dengan keindahan akhlak seorang Muslim.
Judul: Ayat-Ayat Cinta 2
Penulis: Habiburrahman El Shirazy
Penerbit: Republika Penerbit, Jakarta
Tebal: vi+698 halaman; 13.5 x 20.5 cm
Cetakan: VII, Desember 2015
Nomor ISBN: 978-602-0822-15-0
